Sabtu, 28 Februari 2009

PENGUASA (NEGARA) DAN HAKNYA UNTUK BERCAMPURTANGAN

PENGUASA (NEGARA) DAN

HAKNYA UNTUK BERCAMPURTANGAN

1. PENGANTAR

Gereja Katolik selalu menyebut kemiskinan sebagai kemiskinan struktural. Artinya, orang miskin bukan miskin karena nasib, takdir atau kemalasan, tapi karena proses pemiskinan yang dilakukan oleh negara. Orang miskin kehilangan akses sosial, politik dan ekonomi karena hak-haknya direnggut oleh negara. Seluruh daya, karsa dan cipta orang miskin seketika mati saat akses-akses itu tertutup. Tujuan didirikannya sebuah bangsa adalah untuk kesejahteraan warganya, maka segala peraturan, keputusan dan kebijakan penguasa haruslah berdampak pada semua lapisan masyarakat secara adil.

Soal pendidikan, misalnya, negara harus membuat peraturan dan kebijakan yang adil dan merata agar setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan Seperti tertulis dalam UUD'45, negara wajib menyediakan pendidikan dan pekerjaan yang layak bagi warga negaranya. Tidak seperti sekarang, biaya pendidikan mahal sehingga orang miskin semakin sulit mengangkat derajat hidupnya karena berpendidikan rendah.

Dalam refleksi singkat ini, akan dibahas masalah penguasa dan bagaimana keterlibatannya dalam mengatur segala urusan dalam negaranya. Apakah mereka telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan tepat? Ataukah penguasa melakukan dominasi untuk mengambil dan mengatasnamakan semua usaha sebagai miliknya?

2. PENGUASA DAN KEWAJIBANNYA

Ensiklik Paus Leo XIII, 15 Mei 1891, Rerum Novarum, tentang ‘Kondisi Pekerja’ menaruh perhatian yang serius terhadap masa depan para pekerja dalam suatu negara yang berada di bawah pemantauan negara atau penguasa. Secara khusus Paus Leo XIII mengatakan bahwa:

Tentang Hak negara untuk bercampur tangan:

“….Tugas utama para penguasa ialah mengerahkan seluruh seluruh sistem

perundangan dan lembaga-lembaga untuk memberi bantuan pada umumnya

maupun kepada golongan-golongan khas. Termasuk kepemimpinan negara

mengusahakan, agar sruktur maupun fungsi administrasi negara meningkatkan

kesejahteraan umum maupun perorangan……”(RN. Art. 33)

Tentang Prinsip Campur tangan negara:

“….Negara tidak berwenang menyerap baik orang perorang maupun keluarga.

Sejauh kesejahteraan umum tidak terancam bahaya atau orang perorangan dirugikan,

keadilan menuntut kebebasan penuh untuk bertindak bagi keduanya. Para penguasa

wajib mempedulikan kesejahteraan masyarakat maupun bagian-bagiannya….”(RN. Art. 37)

Dari pernyataan itu Paus memberikan suatu pemahaman yang bersifat menegaskan bahwa penguasa/negara memiliki tugas menjamin kesejahteraan dan keamanan rakyat baik usaha maupun tindakan rakyatnya. Hal ini dipertegas lagi bahwa negar tidak memiliki hak untuk mengambil atau mematikan hak perorangan. Negara wajib memberikan kebebasan yang bertanggung jawab bagi rakyatnya.

Dengan demikian, sebenarnya menjadi sangat jelas bahwa campur tangan negara/penguasa terhadap perorangan memiliki batas tertentu. Negara mempunyai tugas untuk memimpin atau mengarahkan, melindungi rakyatnya untuk mencapai kesejahteraan.

3. SITUASI MASYARAKAT

Dalam kondisi negara berkembang seperti Indonesia sekarang ini, permasalahan tersebut merupakan suatu persoalan yang mendasar perlu dipikirkan, selain oleh negara juga oleh rakyatnya. Bahwa negara tidak akan dapat berkembang semaksimal mungkin apabila negara sebagai lembaga terlalu memonopoli ruang gerak perorangan, keluarga atau kelompok-kelompok, untuk berkembang sebagai adanya dirinya yang mempunyai kemampuan untuk berkembang. Dan dengan demikian, apa yang ingin dicapai setiap pribadi, yakni kesejahteraan tidak akan pernah tercapai, dan kalaupun tercapai hanya dimiliki oleh sebagian orang atau kelompok tertentu saja.

Untuk mengatasi persoalan di atas, hingga terciptanya suatu keadaan atau suasana yang seimbang, dimana kesejahteraan dialami tidak hanya oleh orang tertentu saja, namun semua orang, maka perlu suatu dukungan intensif dan tidak memihak dari negara (negara bersikap netral untuk hal ini), yakni adanya suatu dukungan tata susila yang sehat, kehidupan keluarga yang tertib, penghargaan terhadap agama dan keadilan, sistem perpajakan yang adil, perkembangan industri dan perniagaan, pertanian yang subur, aturan-aturan umum yang telah disepakati masyarakat umum yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

usaha-usaha tersebut masih cukup relevan untuk jaman sekarang, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negara ini yang tidak sesuai dengan asas atau hukum yang telah ditetapkan bersama sejak awal. Penyimpangan-penyimpangan itu terjadi karena kebijakan negara yang tidak jelas dan tidak pernah stabil, selalu berubah-ubah. Contohnya, hukum. Hukum selalu mengalami suatu perubahan atau penambahan seiring dengan bergantinya kabinat atau kepresidenan. Akibatnya, masyarakat tidak dapat mendistingsi mana yang seharunya menjadi tugasnya atau haknya, mana yang menjadi prioritas utamanya untuk kemajuannya. Bahkan setiap kebijakan yang ada kerap kali ‘memojokkan’ perorangan, lembaga atau kelompok tertentu. Ditambah lagi, adanya kebijakan yang secara tidak langsung mematikan seluruh daya, karsa dan cipta setiap orang. Apabila, hal ini terus dibiarkan, niscaya akan terjadi penindasan, kaya terhadap yang miskin.

4. REFLEKSI

Paus Leo XIII, 15 mei 1891 sejak awal telah menegaskan bahwa untuk mencapai suatu kesejahtaraan seluruh rakyat, maka perlu diperhatikan beberapa hal yang penting, terumata berkaintan dengan adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak warga dan pemerintah. Apabila negara cenderung mementingkan hasil terus menerus tetapi tidak mempedulikan kemampuan warganya, maka tidak akan tecapai suatu kesejahteraan, atau sebaliknya, malahan warga masyarakat yang terlalu menuntut pemerintah untuk memberikan jaminan/upah sedang kualitas kerja masyarakat sendiri tidak diperhitungkan, maka kesejahteraan juga tidak akan berhasil. Maka dari itu, hal yan harus ada adalah kerjasama antara keduanya, yakni pertama pemerintah tahu apa yang menjadi haknya? Apa yang menjadi tuganya sebagai pemerintah/penguasa. Demikian juga dengan rakyat. Rakyat ingin meraih suatu kepentingannya yakni kesejahteran dan kebahagiaan, maka kualitas pekerjaanya juga harus ia tunjukkan. Selain itu, rakyat juga tidak boleh hanya menerima apa yang dikatakan atau yang diperintahkan oleh negara. Rakyat jug aperlu kritis atas masa depannya. Dengan kata lain, suatu tindakan yang ia lakukan harus kritis, tegas dan membangun.